Pages

JURUSANKU

Senin, 26 Desember 2011

Rabu, 12 Oktober 2011

Seni Mendengar

Ditulis oleh: Anne Ahira

Ihsan,

Banyak orang bisa 'berkata', namun
sedikit yang mau 'mendengar'.

Padahal jika kita mau kembali ke hukum
alam, seharusnya kita harus lebih
banyak mendengar daripada bicara.
Bukankah Tuhan memberi kita dua
telinga dan hanya satu mulut? :-)

Begitupun jika kita saksikan pada bayi
yang baru lahir. Indra pendengaran
lebih dulu berfungsi daripada yang
lainnya. Lalu, mengapa mendengar lebih
susah daripada berbicara?

Meski secara kasat mata mendengar
adalah hal yang gampang, namun nyatanya
banyak orang yang lebih suka
didengarkan daripada mendengarkan.
Mendengarkan merupakan bagian esensi
yang menentukan komunikasi efektif.
Tanpa kemampuan mendengar yang bagus,
biasanya akan muncul banyak masalah.

Yang sering terjadi, kita merasa bahwa
kitalah yang paling benar. Kita tidak
tertarik untuk mendengarkan opini yang
berbeda dan hanya tergantung pada cara
kita.

Selalu merasa benar, paling kompeten,
dan tidak pernah melakukan kesalahan.
Duh... malaikat kali! :-)

Jika kita selalu merasa bahwa diri kita
benar, dan cara kitalah yang paling
tepat, itu berarti kita tidak pernah
mendengarkan.

Ide dan opini kita sangat sukar untuk
diubah jika fakta tidak mendukung
keyakinan kita. Bahkan kalau ada fakta
pun kita mungkin hanya akan sekedar
meliriknya saja.

Mungkin saat ini kita nyaman dengan
cara kita, tapi untuk jangka waktu yg
panjang, orang-orang akan menolak dan
membenci kita.

Jika kita mau mulai mendengarkan
orang lain, maka suatu saat kita akan
menyadari kesalahan kita. Jawaban
untuk mengatasi sifat ini adalah
mengasah skill mendengar aktif.

Mendengar tidak selalu dengan tutup
mulut, tapi juga melibatkan partisipasi
aktif kita. Mendengar yang baik bukan
berharap datangnya giliran berbicara.

Mendengar adalah komitmen untuk
memahami pembicaraan dan perasaan lawan
bicara kita. Ini juga sebagai bentuk
penghargaan bahwa apa yang orang lain
bicarakan adalah bermanfaat untuk kita.
Pada saat yang sama kita juga bisa
mengambil manfaat yang maksimal dari
pembicaraan tersebut.

Seni mendengar dapat membangun sebuah
relationship. Jika kita melakukannya
dengan baik, orang-orang akan tertarik
dengan kita dan interaksi kita akan
semakin harmonis.

Berikut teknik mudah yang dapat
dipraktekkan oleh Ihsan dengan sangat
wajar untuk menjadi seorang pendengar
yang baik :

1. Peliharalah kontak mata dengan baik.
    Ini menunjukkan kepada lawan bicara
    tentang keterbukaan dan kesungguhan
    kita

2. Condongkan tubuh ke depan.
    Ini menunjukkan ketertarikan kita
    pada topik pembicaraan. Cara ini
    juga akan mengingatkan kita untuk
    memiliki sudat pandang yang lain,
    yaitu tidak hanya fokus pada diri
    kita.

3. Buat pertanyaan ketika ada hal yang
    butuh klarifikasi atau ada informasi
    baru yang perlu kita selidiki dari
    lawan bicara kita.

4. Buat selingan pembicaraan yang
    menarik. Hal ini bisa membuat
    percakapan lebih hidup dan tidak
    monoton.

5. Cuplik atau ulang beberapa kata
    yang diucapkan oleh lawan bicara kita.
    Ini menunjukkan bahwa kita memang
    mendengarkan dengan baik hingga hapal
    beberapa cuplikan kata.

6. Buatlah komitmen untuk memahami
    apa yang ia katakan, meskipun kita tidak
    suka atau marah. Dari sini kita akan
    mengetahui nilai-nilai yang diterapkan
    lawan bicara kita, yang mungkin berbeda
    dengan nilai yang kita terapkan.

Dengan berusaha untuk memahami, bisa
jadi kita akan menemukan sudut pandang,
wawasan, persepsi atau kesadaran baru,
yang tidak terpikirkan oleh kita
sebelumnya.

Seorang pendengar yang baik sebenarnya
hampir sama menariknya dengan pembicara
yang baik. Jika kita selalu pada pola
yang benar untuk jangka waktu tertentu,
maka suatu saat kita akan merasakan
manfaatnya.

Prosesnya mungkin akan terasa lama dan
menjemukan, tapi lama-kelamaan akan
terasa berharganya upaya yang telah
kita lakukan. Kita akan merasa lebih
baik atas diri kita, hubungan kita,
teman-teman kita, anak-anak kita,
maupun pekerjaan.

Kesimpulan: Jadilah pendengar yang
baik, karena sifat ini bisa menjadi
kunci untuk mengembangkan pikiran
yang positif
, dan merupakan salah satu
tangga untuk mencapai kesuksesan! :-)

Minggu depan saya akan mengirimkan
artikel tentang "Tips Bagaimana
Menciptakan Perubahan"

So, cek selalu emailnya, dan tunggu
tulisan dari saya berikutnya! :-)

Rabu, 21 September 2011

Selasa, 20 September 2011

PERANAN AGAMA DALAM PEMBANGUNAN

PERANAN AGAMA DALAM PEMBANGUNAN
    IPTEK NASIONAL 1
Oleh:
    MUHAMMAD HARIS

Pendahuluan
    Peluncuran dan terbang perdana pesawat N-250 yang diberi nama Gatotkaca pada tanggal 10 Agustus 1995 merupakan tonggak penting dalam sejarah bangsa Indonesia.  Pesawat ini adalah pesawat terbang pertama yang dibuat oleh putra-putri Indonesia, mulai dari rancang bangun sampai ke perakitannya.  Kebanggaan akan prestasi itulah yang membuat pemerintah, melalui Keputusan Presiden RI no. 71 tahun 1995, menetapkan tanggal 10 Agustus sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional.  Keinginan untuk berpartisipasi dalam pengembangan iptek nasional inilah, barangkali, yang melatar-belakangi diselenggarakannya seminar oleh IAIN Sunan Ampel pada hari ini.
http://www.pendidikanislam.net/images/stories/makalah/pencakar%20langit.jpg
    Judul yang diberikan panitia kepada saya, yang juga menjadi tema Seminar ini, memberi kesan bahwa, dalam hubungan dua variabel ini (agama dan iptek nasional), iptek nasional menjadi fokus utama dan agama sebagai penunjangnya.  Mungkin di antara peserta Seminar ini ada yang tidak setuju dengan penempatan posisi seperti itu dan menginginkan agar agama ditempatkan pada posisi fokus dalam kaitannya dengan iptek.  Keinginan semacam itu adalah wajar dan sah, namun mengingat seminar ini dikaitkan dengan peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional yang pertama, maka wajarlah kalau pada seminar kali ini yang menjadi fokus perhatian adalah masalah ipteknya.  Mengapa iptek itu dikaitkan dengan agama?  Barangkali, hal itu karena yang menyelenggarakan seminar ini adalah IAIN, yang bidang garapannya adalah agama.
    Untuk membahas topik ini, saya ingin mengajak peserta seminar ini untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:
  1)    Bagaimanakah posisi iptek dalam pembangunan nasional?
  2)    Apa dampak iptek dan globalisasi pada pembangunan bangsa?
  3)    Bagaimana sikap kita terhadap globalisasi itu?
  4)    Bagaimana peranan agama yang diharapkan dalam pembangunan iptek nasional?
  5)    Apakah harapan itu telah terwujud?

Posisi Iptek dalam Pembangunan Nasional
    Memasuki Pembangunan Jangka Panjang ke II, bangsa Indonesia makin menyadari akan pentingnya peran iptek bagi keberhasilan program pembangunan bangsanya.  Hal ini tampak nyata dengan dimasukkannya iptek sebagai salah satu asas pembangunan pada GBHN 1993-19982.  Sepuluh tahun sebelumnya, iptek belum dimasukkan sebagai asas pembangunan walau bukan berarti tidak penting.  Secara umum GBHN 1993-1998 itu juga mengakui bahwa selama PJP I, "pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berhasil memajukan tingkat kecerdasan masyarakat, mengembangkan kemampuan bangsa serta ikut mendorong proses pembaharuan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. ..." (Bab III, A. 8.).
    Iptek juga telah menjadi salah satu bidang pembangunan dalam PJP II ini yang sasarannya adalah "tercapainya kemampuan nasional dalam pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban, serta ketangguhan dan daya saing bangsa yang diperlukan untuk memacu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan menuju masyarakat yang berkualitas, maju, mandiri serta sejahtera ..." (Bab III, E. 4.).
    Dalam arah PJP II, juga disebutkan bahwa
    "pembangunan iptek memegang peranan penting serta akan sangat mempengaruhi perkembangan dalam masa PJP II.  Penguasaan iptek akan mempengaruhi keberhasilan membangun masyarakat maju dan mandiri.  Pembangunan iptek diarahkan agar pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaannya dapat mempercepat peningkatan kecerdasan dan kemampuan bangsa, mempercepat proses pembaharuan, meningkatkan produktivitas dan efisiensi, memperluas lapangan kerja, meningkatkan kualitas, harkat dan martabat bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. ..." (Bab III, F. 15.).

    Kutipan-kutipan dari GBHN di atas menunjukkan bagaimana posisi pembangunan iptek dalam kerangka Pembangunan Nasional Tahap II.  Dapat disimpulkan bahwa pada PJP II, ini bangsa Indonesia makin menyadari betapa pentingnya iptek itu bagi pembangunan nasional.  Bahkan dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan nasional akan dipengaruhi oleh penguasaan bangsa ini atas iptek itu.  Kalau kita dapat menguasai iptek dengan baik, maka akan makin berhasillah pembangunan kita sedangkan kalau penguasaan iptek kita rendah, maka pembangunan nasional kita pun akan kurang berhasil.
   Dalam kebijakan PELITA VI, dinyatakan bahwa iptek diperlukan di hampir semua sektor pembangunan: industri, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, transportasi, dan bioteknologi (Bab IV, F.)

Dampak Iptek dan Globalisasi pada Pembangunan Bangsa
    Seperti juga pada bidang lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai dampak positif dan negatif.   Penilaian positif maupun negatif ini, tentu saja, bersifat subyektif, tergantung kepada siapa yang menilainya.  Yang dinilai negatif oleh bangsa Indonesia belum tentu juga dinilai negatif oleh bangsa Amerika, misalnya.
    Dampak positif kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dirasakan, misalnya, dalam bidang teknologi komunikasi dan informasi.  Ditemukannya teknologi pesawat terbang telah membuat manusia dapat pergi ke seluruh dunia dalam waktu singkat.  Perjalanan haji yang dulu dilakukan selama beberapa minggu melalui laut kini, dengan makin lancarnya transportasi udara, dapat dilakukan hanya dalam waktu delapan jam saja.  Kemajuan di bidang televisi satelit telah memungkinkan kita melihat Olimpiade Atlanta langsung tanpa harus keluar rumah.  Penemuan telepon genggam telah memungkinkan kita untuk menghubungi seseorang di mana saja ia berada atau dari mana saja kita berada.  Kemajuan di bidang penyimpanan data telah memungkinkan kita memiliki seluruh jilid Ensiklopedia Britanica dalam satu keping Compact Disk yang beratnya kurang dari satu ons.  Kemajuan di bidang komputer telah menciptakan jaringan internet yang memungkinkan kita mendapatkan informasi dari perpustakaan di seluruh dunia tanpa harus keluar dari kamar.  Kemajuan di bidang komunikasi juga telah membuat perdagangan internasional menjadi semakin mudah dan cepat. Sekarang ini, lewat bursa saham, orang dapat dengan mudah memiliki perusahaan di negara lain.
    Singkat kata, kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan informasi ini telah membuat dunia terasa kecil dan batas antar negara menjadi hilang.  Inilah yang disebut sebagai globalisasi, suatu proses di mana orang tidak lagi berfikir hanya sebagai warga kampung, kota, atau negara, melainkan juga sebagai warga dunia.
    Dari sisi positifnya, proses ini membuat orang tidak lagi hanya berwawasan lokal.  Dalam usahanya memecahkan persoalan, ia akan melihat ke seluruh dunia guna menemukan solusi.  Dalam mencari pekerjaan atau ilmu pun, ia tidak lagi membatasi diri pada pekerjaan atau lembaga pendidikan di kampungnya, kotanya, propinsinya, atau negaranya saja. Seluruh permukaan bumi ini dapat menjadi kemungkinan tempat ia bekerja atau mencari ilmu.
    Dari sudut jati diri bangsa, proses ini dapat dianggap membawa dampak negatif.  Hal ini karena inovasi-inovasi di bidang iptek itu kebanyakan terjadi di negara lain yang mempunyai nilai-nilai sosial, politik, dan budaya yang belum tentu sama dengan nilai bangsa kita.  Kendati teknologinya itu sendiri dapat dianggap sebagai netral atau bebas nilai, penerapan dan pembawa ilmu pengetahuan dan teknologi itu tidak dapat dikatakan selalu bebas nilai.  Sebagai contoh, kemajuan teknologi parabola telah memungkinkan kita melihat siaran televisi Perancis tanpa ada sensor.  Adegan seks dan pamer dada wanita, yang di RCTI tidak mungkin keluar, dapat dilihat anak-anak kita tanpa terpotong gunting sensor lewat parabola itu.  Banjirnya film asing di TV nasional (yang terpaksa diputar karena produksi nasional belum ada dan harganya lebih murah daripada memproduksi sendiri) juga dapat mempengaruhi nilai budaya para pemirsanya.  Telenovela dan film Barat yang amat populer di TV swasta kita, secara tidak terasa, dapat mempengaruhi para pemirsanya bahwa perselingkuhan dalam kehidupan suami istri itu adalah hal yang biasa, bahwa kekerasan merupakan salah satu pemecahan masalah.  Film detektif bahkan dapat menjadi 'guru' bagi para maling.
    Globalisasi cara berfikir, yang menjadi salah satu dampak kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, dapat membuat orang tidak lagi mengacu pada nilai-nilai tradisional bangsanya belaka.  Kemudahan memperoleh informasi akan membuat ia dapat mempelajari nilai-nilai yang ada pada masyarakat dan bangsa lain, baik yang menyangkut nilai sosial, ekonomi, budaya, maupun politik.  Sebagai bangsa yang sedang membangun jati-dirinya, proses globalisasi ini jelas merupakan tantangan yang harus diatasi dalam upaya pembentukan manusia Indonesia yang dicita-citakan.
    Hal ini tampaknya juga disadari oleh para wakil rakyat yang menyusun GBHN 1993-1998.  Mengenai dampak negatif globalisasi bagi pembangunan nasional kita, GBHN menyatakan:
    "Perkembangan, perubahan, dan gejolak internasional pada akhir Pembangunan Jangka Panjang Pertama ditandai oleh gejala baru, yaitu globalisasi yang dapat mempengaruhi stabilitas nasional dan ketahanan nasional yang pada gilirannya akan berdampak pada pelaksanaan pembangunan nasional di masa yang akan datang. ... Tantangan di bidang ekonomi ... adalah munculnya pengelompokan antar-negara yang cenderung meningkatkan proteksionisme dan diskriminasi pasar yang dapat menghambat pemasaran hasil produksi dalam negeri dan mendorong persaingan yang tidak sehat.  Ancaman di bidang politik dan pertahanan keamanan adalah kemungkinan timbulnya rongrongan terhadap ideologi Pancasila, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional, khususnya persatuan dan kesatuan bangsa yang dapat mengganggu kelancaran jalannya pembangunan nasional.  Ancaman di bidang sosial budaya adalah masuknya nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai lujur budaya bangsa." (Bab IV, A. 2.)

Sikap terhadap Globalisasi
    Pada dasarnya sikap orang terhadap masalah globalisasi ini dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) lari dari kenyataan dan bersembunyi atau menutup diri dari arus globalisasi itu; (2) menghindar atau menganggap bahwa globalisasi itu tidak ada; (3) menghadapi persoalan dengan berani.  Pilihan pertama dilakukan apabila orang tersebut merasa lemah dan tidak kuat untuk menanggulangi dampak negatif globalisasi itu.  Dalam mempertimbangkan dampak positif dan negatif kemajuan iptek dan globalisasi, ia melihat bahwa 'mudharat' globalisasi tersebut lebih besar daripada 'manfaatnya'.  Akibatnya, ia menolak kehadiran kemajuan iptek tersebut dan tidak mau bersentuhan dengannya.  Dalam kasus bangsa, pemerintah menutup masuknya informasi dari luar tanpa pandang bulu karena takut kalau-kalau rakyatnya akan terpengaruh oleh nilai-nilai dari luar yang mungkin akan berdampak negatif.
    Pilihan ke dua dilakukan bila orang tersebut merasa bingung.  Di satu fihak, ia mengetahui dampak positifnya kemajuan teknologi komunikasi itu tetapi, di lain fihak, ia juga mengetahui dampak negatif dari globalisasi tersebut.  Ia tidak dapat memutuskan apakah akan merangkul ataukah menolak kemajuan teknologi yang berdampak globalisasi itu.  Akibatnya, ia membiarkan saja kemajuan teknologi itu melanda bangsanya dan berpura-pura yakin, atau berharap, bahwa globalisasi itu tidak membawa dampak negatif bagi masyarakatnya.
    Pilihan ke tiga dilakukan oleh orang yang tidak bingung.  Ia menyadari akan dampak positif dan negatif dari kemajuan iptek yang masuk ke negaranya, termasuk dampak globalisasi masyarakatnya.  Berbeda dengan pemilih skenario ke dua, ia dengan seksama memilah-milah mana dampak positif dari kemajuan iptek dan globalisasi itu bagi dirinya dan mana dampak negatifnya.  Dengan mengetahui di bidang mana kemajuan iptek dan globalisasi itu akan membawa dampak negatif, ia mempersiapkan diri agar tidak terpengaruh oleh kemajuan iptek dan globalisasi itu secara negatif.
    Secara teoritis, kita dengan mudah akan melihat bahwa pilihan ke tiga itulah yang terbaik tetapi, secara praktis, kadang-kadang kita akan lebih memilih alternatif ke dua atau pertama.  Barangkali dilemma seperti inilah yang dihadapi oleh para ulama Madura dalam masalah industrialisasi pulau Madura.  Di masa lalu, dilemma ini mungkin juga dihadapi oleh para ulama dalam masalah pendidikan umum yang diperkenalkan Belanda.
    Tampaknya, dalam masalah kemajuan iptek dan globalisasi ini bangsa Indonesia bertekad untuk memilih alternatif ke tiga: kemajuan iptek dirangkul sedang dampak ikutannya yang negatif akan dihadapi dengan meningkatkan ketahanan nasional di bidang ipoleksosbud.  Hal ini tampak dalam pernyataan mereka dalam GBHN 1993-1998:
    "Pembinaan dan pemantapan kepribadian bangsa senantiasa memperhatikan pelestarian nilai luhur budaya bangsa yang bersumber pada kebhinekaan budaya daerah dengan tidak menutup diri terhadap masuknya nilai positif budaya bangsa lain untuk mewujudkan dan mengembangkan kemampuan dan jati diri serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.  Pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penyelenggaraan pembangunan harus meningkatkan kecerdasan dan nilai tambah ... dengan mengindahkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa serta kondisi lingkungan dan kondisi masyarakat." (Bab II, G. 3.)

    Menurut pernyataan itu, bangsa Indonesia tidak perlu menutup diri terhadap masuknya nilai-nilai positif budaya bangsa lain guna mengembangkan jati dirinya.  Nilai-nilai agama, budaya bangsa, kondisi lingkungan dan masyarakat Indonesia dipakai sebagai pagar atau rambu-rambu bagi penerapan iptek di Indonesia hingga tak berdampak negatif pada masyarakat dan bangsa.

Peranan Agama dalam Pengembangan Iptek Nasional
    Dalam membahas peranan agama dalam pengembangan iptek nasional ini, saya tidak akan berbicara secara teoritik umum.  Mengingat iptek yang kita bicarakan adalah iptek dalam konteks nasional, maka peranan yang dimainkan oleh agama dalam hal ini pun berada dalam konteks nasional pula.  Dengan demikian, pertanyaan yang ingin saya jawab dalam bagian ini adalah: Bagaimanakah peran yang diharapkan oleh bangsa Indonesia dari agama dalam kaitannya dengan pengembangan iptek nasional?
    Ada beberapa kemungkinan hubungan antara agama dan iptek: (a) berseberangan atau bertentangan, (b) bertentangan tapi dapat hidup berdampingan secara damai, (c) tidak bertentangan satu sama lain, (d) saling mendukung satu sama lain, agama mendasari pengembangan iptek atau iptek mendasari penghayatan agama.
    Pola hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak.  Apa yang dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula sebaliknya.  Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan.  Orang yang ingin menekuni ajaran agama akan cenderung untuk menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia.  Pola hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman Galileio-Galilei.  Ketika Galileo berpendapat bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa matahari lah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan dikalahkan.  Ia dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat.
    Pola hubungan ke dua adalah perkembangan dari pola hubungan pertama.  Ketika kebenaran iptek yang bertentangan dengan kebenaran agama makin tidak dapat disangkal sementara keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan satu-satunya adalah menerima kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa masing-masing mempunyai wilayah kebenaran yang berbeda. Kebenaran agama dipisahkan sama sekali dari kebenaran ilmu pengetahuan.  Konflik antara agama dan ilmu, apabila terjadi, akan diselesaikan dengan menganggapnya berada pada wilayah yang berbeda. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek tidak dikaitkan dengan penghayatan dan pengamalan agama seseorang karena keduanya berada pada wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal, pengembangan yang satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk memisahkan urusan agama dari urusan negara/masyarakat.
    Pola ke tiga adalah pola hubungan netral.  Dalam pola hubungan ini, kebenaran ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu pengetahuan tetapi juga tidak saling mempengaruhi.  Kendati ajaran agama tidak bertentangan dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama sekali.  Dalam masyarakat di mana pola hubungan seperti ini terjadi, penghayatan agama tidak mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan pengembangan iptek tidak mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama. Keadaan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler.  Karena masyarakatnya sudah terbiasa dengan pemisahan agama dan negara/masyarakat, maka. ketika agama bersinggungan dengan ilmu, persinggungan itu tidak banyak mempunyai dampak karena tampak terasa aneh kalau dikaitkan.  Mungkin secara individu dampak itu ada, tetapi secara komunal pola hubungan ini cenderung untuk tidak menimbulkan dampak apa-apa.
    Pola hubungan yang ke empat adalah pola hubungan yang positif.  Terjadinya pola hubungan seperti ini mensyaratkan tidak adanya pertentangan antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan serta kehidupan masyarakat yang tidak sekuler.  Secara teori, pola hubungan ini dapat terjadi dalam tiga wujud: ajaran agama mendukung pengembangan iptek tapi pengembangan iptek tidak mendukung ajaran agama, pengembangan iptek mendukung ajaran agama tapi ajaran agama tidak mendukung  pengembangan iptek, dan ajaran agama mendukung pengembangan iptek dan demikian pula sebaliknya.  
    Dalam wujud pertama, pendalaman dan penghayatan ajaran agama akan mendukung pengembangan iptek walau pengembangan iptek tidak akan mendorong orang untuk mendalami ajaran agama.  Sebaliknya, dalam wujud ke dua, pengembangan iptek akan mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama walaupun tidak  sebaliknya terjadi.  Pada wujud ke tiga, pengembangan iptek akan mendorong orang untuk lebih mendalami dan menghayati ajaran agama dan pendalaman serta penghayatan ajaran agama akan mendorong orang untuk mengembangkan iptek.
    Pertanyaan selanjutnya adalah "pola hubungan yang manakah yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia terjadi di negara kita ini?"  Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka kita perlu melihat kembali GBHN sebagai cermin keinginan bangsa Indonesia tentang apa yang mereka harapkan terjadi di Indonesia dalam masa 5 atau 25 tahun mendatang.
    Kalau kita simak pernyataan eksplisit GBHN 1993-1998 tentang kaitan pengembangan iptek dan agama, akan kita lihat bahwa pola hubungan yang diharapkan adalah pola hubungan ke tiga, pola hubungan netral.  Ajaran agama dan iptek tidak bertentangan satu sama lain tetapi tidak saling mempengaruhi. Pada Bab II, G. 3. GBHN 1993-1998, yang telah dikutip di muka, dinyatakan bahwa pengembangan iptek hendaknya mengindahkan nilai-nilai agama dan budaya bangsa.  Artinya, pengembangan iptek tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa.  Tidak boleh bertentangan tidak berarti harus mendukung.  Kesan hubungan netral antara agama dan iptek ini juga muncul kalau kita membaca GBHN dalam bidang pembangunan Agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.  Tak ada satu kalimat pun dalam pernyataan itu yang secara eksplisit menjelaskan bagaimana kaitan agama dengan iptek.  Pengembangan agama tidak ada hubungannya dengan pengembangan iptek.
    Akan tetapi, kalau kita baca GBHN itu secara implisit dalam kaitan antara pembangunan bidang agama dan bidang iptek, maka kita akan memperoleh kesan yang berbeda.  Salah satu asas pembangunan nasional adalah Asas Keimanan dan Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berarti
    "... bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral,dan etik dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila" (Bab II, C. 1.)

Di bagian lain dinyatakan bahwa  pembangunan bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diarahkan, antara lain, untuk memperkuat landasan spiritual, moral, dan etik bagi pembangunan nasional.
    Dari sini dapat disimpulkan bahwa, secara implisit, bangsa Indonesia menghendaki agar agama dapat berperan sebagai jiwa, penggerak, dan pengendali ataupun sebagai landasan spiritual, moral, dan etik bagi pembangunan nasional, termasuk pembangunan bidang iptek tentunya.  Dalam kaitannya dengan pengembangan iptek nasional, agama diharapkan dapat menjiwai, menggerakkan, dan mengendalikan pengembangan iptek nasional tersebut.

Hubungan Agama dan Pengembangan Iptek Dewasa Ini
    Pertanyaan berikutnya adalah "apakah peranan agama terhadap pengembangan iptek seperti yang diharapkan itu telah terjadi?"  Dari pengamatan selama ini, saya rasa peranan seperti itu belum terjadi.  Pola hubungan antara agama dan iptek di Indonesia saat ini baru pada taraf tidak saling mengganggu.  Pengembangan iptek dan pengembangan kehidupan beragama diusahakan agar tidak saling tabrak pagar masing-masing.  Pengembangan agama diharapkan tidak menghambat pengembangan iptek sedang pengembangan iptek diharapkan tidak mengganggu pengembangan kehidupan beragama.  Konflik yang timbul antara keduanya diselesaikan dengan kebijaksanaan.
    Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu ada polemik di surat kabar tentang tayangan televisi swasta yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai agama (misalnya, penonjolan aurat wanita, cerita perselingkuhan, dsb.).  Fihak yang berkeberatan mengatakan bahwa hal itu dapat merusak mental masyarakat.  Tetapi, fihak yang tidak berkeberaan dengan acara seperti itu mengatakan bahwa 'kalau anda tidak senang dengan acara itu, matikan saja televisinya.'  Perusahaan  televisi swasta adalah perusahaan yang harus memikirkan keuntungan dan ia akan berusaha menayangkan film yang digemari masyarakat.  Kalau masyarakatnya senang film sex dan sadis, maka film itu pulalah yang akan memperoleh rating tinggi dan diminati oleh pemasang iklan.  Ini adalah pemikiran yang sekuler, yang memisahkan urusan dagang dari agama.  Tugas pengusaha adalah mencari untung sebanyak-banyaknya, sedang mendidik kehidupan beragama masyarakat adalah tugas guru agama dan ulama.  Kasarnya, tugas setan memang menggoda manusia sedang mengingatkan manusia adalah tugas nabi.
    Polemik ini diselesaikan dengan penerapan sensor intern dari perusahaan televisi swasta.  Kini adegan ciuman bibir antara lelaki perempuan, yang biasa kita lihat di bioskop, tidak akan kita temukan di televisi.  Film "Basic Instinct" yang ditayangkan di televisi beberapa waktu yang lalu telah dipotong sedemikian rupa sehingga steril dari adegan sex yang panas.
    Ada pula konflik antara ajaran agama dan ajaran ilmu pengetahuan yang diselesaikan dengan cara menganggapnya "tidak ada atau sudah selesai" padahal ada dan belum diselesaikan.  Sebagai contoh adalah teori tentang asal usul manusia yang diajarkan di sekolah.  Guru biologi mengajarkan bahwa menurut sejarahnya, manusia itu berasa dari suatu jenis tertentu yang kemudian pecah menjadi dua cabang: yang satu mengikuti garis pongid yang akhirnya menjadi kera modern, yang lain mengikuti garis manusia yang berkembang mulai dari manusia kera purba sampai ke manusia modern.  Guru agama Islam mengajarkan bahwa, berdasarkan dalil-dalil naqli, manusia itu diciptakan oleh Allah s.w.t. dalam bentuknya seperti sekarang. (Lihat buku teks Biologi SMU untuk kelas tiga dan bandingkan dengan buku teks Pendidikan Agama Islam di SMU).
    Ini adalah pertentangan teori yang klasik, antara teori evolusi dan teori ciptaan, yang pernah melanda Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu.  Di dunia ilmu pengetahuan, konflik itu tetap berlangsung sampai sekarang walaupun kelompok pendukung teori ciptaan ini jumlahnya makin sedikit jika dibandingkan dengan mereka yang mempercayai teori evolusi.  Di bidang ilmu, konflik antara teori yang satu dengan yang lain adalah wajar dan merupakan rahmat (Konflik semacam inilah yang menimbulkan paradigma baru dalam ilmu pengetahuan dan menghasilkan teori-teori baru.  Akan tetapi, jika konflik semacam ini diajarkan di sekolah tanpa diselesaikan, maka kebingungan lah yang akan menjadi akibatnya.  Di Amerika, konflik ini diselesaikan dengan melarang diajarkannya teori ciptaan di seluruh sekolah negeri.
    Di Indonesia, konflik di sekolah ini tidak diselesaikan dan dianggap tidak ada.  Pelajaran Biologi hanya mengajarkan teori evolusi dalam bidang biologi dan pura-pura tidak tahu bahwa ajaran agama Islam, Kristen, dan Katolik menganut faham creationism (manusia diciptakan).  Sebaliknya, Pendidikan Agama Islam mengajarkan teori ciptaan dan menyalahkan teori evolusi tanpa menjelaskan dimana letak kesalahan teori evolusi itu (padahal, sampai saat ini, teori evolusi ini masih menjadi tulang punggung ilmu hayat (biologi).  Secara teoritis, keadaan seperti ini akan menghasilkan lulusan SMA yang bingung di bidang asal usul manusia (barangkali gurunya pun bingung!).

Penutup
    Sebagai penutup dapat kitas simpulkan bahwa dewasa ini iptek menempati posisi yang amat penting dalam pembangunan nasional jangka panjang ke dua di Indonesia ini.  Penguasaan iptek bahkan dikaitkan dengan keberhasilan pembangunan nasional.  Namun, bangsa Indonesia juga menyadari bahwa pengembangan iptek, di samping membawa dampak positif, juga dapat membawa dampak negatif bagi nilai agama dan budaya yang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia.  Sebagai bangsa yang telah memilih untuk tidak menganut faham sekuler, agama mempunyai kedudukan yang penting juga dalam masyarakat Indonesia.  Oleh karena itulah diharapkan agar pengembangan iptek di Indonesia tidak akan bertabrakan dengan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa.
    Kendati pola hubungan yang diharapkan terjadi antara agama dan iptek secara eksplisit adalal pola hubungan netral yang saling tidak mengganggu, secara implisit diharapkan bahwa pengembangan iptek itu dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh nilai-nilai agama.  Ini merupakan tugas yang tidak mudah karena, untuk itu, kita harus menguasai prinsip dan pola pikir keduanya (iptek dan agama).  Saat ini baru sebagian kecil saja ummat yang menguasai hal itu dan yang sedikit itu masih belum sempat menulis buku teks yang memadukan kedua hal (agama dan iptek) itu.  Dari uraian di atas, ternyata kita baru pada langkah awal dan masih jauh jalan yang harus kita tempuh.

Minggu, 18 September 2011

 BUNGA BANK VS RIBA
1. Tentang Bunga Bank
Definisi bunga
The American Heritage Dictionary of the English Language
Interest is a change for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned.
Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia), Prof. Dr. Winardi, S.E.:
Interest (net) – bunga modal (netto). Pembayaran untuk penggunaan dana-dana. Diterangkan dengan macam-macam cara, misalnya:
  • Balas jasa untuk pengorbanan konsumsi atas pendapatan yang dicapai pada waktu sekarang.
  • Pendapatan-pendapatan orang yang berbeda mengenai preferensi likuiditas yang menyesuaikan harga.
  • Harga yang mengatasi terhadap masa sekarang atas masa yang akan datang.
  • Pengukuran produktivitas macam-macam investasi (efisiensi marginal modal).
  • Harga yang menyesuaikan permintaan dan penawaran akan dana-dana yang dipinjamkan (teori dana yang dipinjamkan).
Dictionary of Economics, Sloan dan Zurcher:
Interest
adalah sejumlah uang yang dibayar atau untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut, misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau persentase modal yang bersangkut paut dengan itu yang dinamakan suku bunga modal.
2. Tentang Riba
a. Definisi riba
Menurut Ensiklopedia Islam Indonesia yang disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah:
Ar-Riba atau Ar-Rima makna asalnya ialah tambah, tumbuh, dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an.
Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa Inggris sebagai usury, yang artinya dalam The American Heritage Dictionary of the English Language adalah:
  1. the act of lending money at an exorbitant or illegal rate of interest.
  2. such of an excessive rate of interest.
  3. archaic (tidak dipakai lagi, kuno, kolot, lama). The act or practice of lending money at any rate of interest.
  4. aw. obselete (usang, tidak dipakai, kuno). Interest charged or paid on such a loan.
Menurut Dr. Perry Warjiyo,
Dari pelajaran sejarah masyarakat Barat, terlihat jelas bahwa “interest” dan “usury” yang kita kenal saat ini pada hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam persentase. Istilah “usury” muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap “wajar”. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.
b. Tinjauan larangan riba dari praktik yang dilakukan masyarakat Arab sebelumnya.
Persoalan yang selalu dimunculkan pada setiap kali ada diskusi tentang apakah bunga bank sama dengan riba adalah tidak dicantumkannya secara eksplisit kata “bunga” di dalam Al-Qur’an dan Hadist. Mereka tidak meragukan, bahwa apa yang diharamkan itu adalah riba sebagaimana disebutkan dalam lima ayat yang berbeda dalam Al-Qur’an. Kelima ayat itu adalah sebagai berikut:
1. QS. Ar-Rum (30): 39 di Mekkah.
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah itu, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).”
2. QS. An-Nisa (4): 161 di Madinah.
“…dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.”
3. QS. Ali-Imran (3): 130 di Madinah.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
4. QS. Al-Baqarah (2): 275-276 di Madinah.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah, Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
5. QS. Al-Baqarah (2): 278-279 di Madinah.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu ornag-orang yang beriman.”
“Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”




TERMINOLOGI HUKUM: bunga vs riba
PostDateIconThursday, 04 March 2010 04:33 | PDF| Print| E-mail
TERMINOLOGI HUKUM: riba dan bunga bank
oleh Drs. Ahmad Nur, M.H. (Hakim PASoe)
A. RIBA
Pengertian riba dalam kamus bahasa Arab adalah kelebihan, penambahan, peningkatan atau surplus. Kata riba juga telah dicakup dalam kata usury dalam bahasa Inggris. Usury diartikan sebagai bunga yang terlalu tinggi atau berlebihan. Tetapi dalam kalangan sarjana Islam, riba dalam bahasa Arab berarti tambahan, walaupun sedikit, melebihi dari pada pokok pinjaman. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Maulana ‘Abul  A’la Al-Maududi.
Dalam ilmu ekonomi, riba berarti kelebihan pendapatan yang diterima oleh si pemberi pinjaman dari si peminjam, yaitu kelebihan dari jumlah pokok yang dipinjam  sebagai upah atas dicairkannya sebagaian harta dalam waktu yang telah ditentukan.
Riba menurut definisi pada ulama, di antaranya :
Ibnu Hajar Al Askalani menyatakan bahwa esensi riba adalah kelebihan apakah itu berup a barang ataupun uang seperti uang dua dinar pengganti satu dinar.
Allama Mahmud Al Hasan Tauki mengatakan bahwa riba berarti kelebihan atau kenaikan  dan juga dalam suatu perjanjian barter meminta adanya kelebihan satu benda untuk benda yang sama.


Afzar Rahman, pada dasarnya riba adalah pembayaran yang dikenakan terhadap  pinjaman pokok sebagai imbalan terhadap masa pinjaman itu berlaku dimana modal pinjaman tersebut digunakan.
Riba mengandung tiga unsur, dan semua transaksi yang mengandung ketiga unsur tersebut termasuk dalam kategori riba. Ketiga unsur tersebut :
  1. Semua yang ditambah pada pokok pinjaman;
  2. Besarnya penambahan menurut jangka waktunya;
  3. Jumlah pembayaran tambahan berdasarkan persyaratan.
Dasar hukum diharamkan riba dalam Alquran adalah melalui empat tahapan :
Tahap Pertama, Allah menunjukan riba itu bersifat negatif. Allah Berfirman dalam surah Ar Ruum ayat 39
ﻮﻣﺎﺍﺗﻴﺗﻢ ﻣﻦ ﺭﺑﺎ ﻠﻳﺭﺑﻭﺍ ﻓﻰ ﺍﻣﻮﺍﻞ ﺍﻠﻧﺎﺱ ﻓﻼ ﻳﺭﺑﻭﺍ ﻋﻧﺪ
“dan sesuatu riba yang kamu berikan untuk menambah harta menusia, maka sebenarnya riba itu tidak menambah disisi Allah”
Tahap Kedua, Allah telah memberi isyarat akan keharaman riba melalui kecaman terhadap praktek riba di kalangan Yahudi. Allah berfirman dala surat An Nisa’ ayat 161
ﺍﺧﺫﻫﻢ ﺍﻟﺭﺑﻭﺍ ﻗﺪ ﻧﻬﻭﺍ ﻋﻧﻪ ﺍﻛﻟﻬﻢ ﺍﻣﻮﺍﻞ ﺍﻠﻧﺎﺱ ﺑﺎ ﻠﺒﺎﻄﻞ ﺍﻋﺗﺪﻧﺎ ﻠﻠﻜﺎﻓﺮﻳﻥ ﻣﻧﻬﻢ ﻋﺫﺍﺑﺎ ﺍﻠﻳﻣﺎ
“dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan batin. Kami telah menyediakan orang-orang kafir diantara mereka itu siksaan yang pedih”
Tahap Ketiga, Allah mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu yang bersifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas. Allah berfirman S. Ali Imran ayat 130.
ﻳﺎﻳﻬﺎ ﺍﻠﺬﻳﻥ ﺍﻣﻧﻭﺍ ﻻﺗﺎﻜﻠﻭﺍ ﺍﻠﺮﺑﺎ ﺍﺿﻌﺎﻓﺎ ﻣﺿﺎﻋﻓﺎ ﻭﺍﺗﻗﻭﺍ ﻠﻌﻠﻜﻢ ﺗﻓﻠﺣﻭﻦ
“Hai orang –orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda  dan bertaqwalah kepada Allah supaya kami mendapat keberuntungan”
Tahap Keempat, Allah mengharamkan riba secara keseluruhan (total) dengan segala bentuknya. Allah berfirman dalam S Albaqarah ayat 275
ﺍﻠﺬﻳﻦ ﻳﻜﻠﻭﻦ ﺍﻠﺮﺑﺎ ﻳﻗﻣﻮﻦ ﺍﻻ ﻜﻣﺎ ﻳﻗﻭﻢ ﺍﻠﺬﻱ ﻳﺘﺧﺑﻃﻪ ﺍﻠﺷﻳﻃﺎﻦ ﻤﻥ ﺍﻠﻣﺲ ﺫﺍﻠﻚ ﺑﺎﻧﻬﻢ ﻗﺎﻠﻭﺍ ﺍﻧﻣﺎ ﺍﻠﺑﻳﻊ ﻣﺛﻞ ﺍﻠﺮﺑﻭﺍ ﺍﺣﻞ ﺍﻠﺑﻳﻊ ﻭﺤﺮﻢ ﺍﻠﺮﺑﻭﺍ ﻓﻣﻦ ﺠﺎﺀ ﻣﻭﻋﻆﺔ ﻣﻦ ﺮﺑﻪ ﻓﺎﻧﺘﻫﻰ ﻓﻟﻪ ﻣﺎ ﺳﻟﻒ ﻮﺍﻣﺮﻩ ﺍﻟﻰ ﻣﻦ ﻋﺎﺩ ﻓﺎﻮﻟﺋﻚ ﺍﺻﺣﺐ ﺍﻟﻧﺎﺮ ﻫﻢ ﻓﻳﻫﺎ ﺧﺎﻟﺪﻮﻦ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat)sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan); dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Alasan diharamkannya riba dalam sunnah Rasulullah SAW di antaranya sabda Rasulullah SAW dari Abu Huraerah ra. Yang diriwayatkan Muslim tentang tujuh dosa besar, di antaranya adalah riba.
Dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud ra. Dikatakan bahwa Rasulullah melaknat para pemakan riba, yang memberi makan denagn cara riba, pada saksi dalam masalah riba dan para penulisnya (HR. Abu Daud dan Muslim).
Pada zaman Rasulullah di kenal dua macam riba, yaitu riba nasi’ah atau penambahan karena penundaan waktu pembayaran; dan riba fadl atau tambahan pembayaran terhadap barang-barang emas, perak, gandum, sagu, kurma dan garam yang dipinjamkan.
Larangan riba dalam Islam menunjukan pada praktek riba yang dikenal pada masyarakat arab, yaitu :
  1. Seseorang menjual sesuatu pada orang lain dengan perjanjian bahwa pembayarannya akan dilakukan pada tanggal tertentu. Bila pemberi tidak dapat membayarnya, suatu waktu tenggang diberikan asalkan pembeli setuju untuk membayar jumlah lebih besar dari harga semula;
  2. Seseorang meminjam sejumlah uang selama jangka waktu tertentu denagn syarat saat jatuh tempo peminjam membayar pokok pinjaman bersama suatu jumlah riba atau tambahan.
  3. Peminjam atau pemberi pinjaman setuju atas suatu tingkat riba tertentu selama jangka waktu tertentu. Bila setelah jangka waktu tersebut peminjam tidak dapat melunasi utangnya beserta tambahannya peminjam diharuskan membayar tingkat kenaikan riba sebagai tambahan waktu tenggang.
Macam-Macam Riba
Dalam perspektif fikih, riba secara umum dibagi tiga macam.
1. Riba Fadl
Riba Fadl sering disebut dengan riba buyu yaitu riba yang muncul dalam aktivitas jual beli, dimana dalam jual beli tersebut terjadi pertukaran antara barang sejenis dengan yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa’an bi sawai’in), dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran seperti ini mengandung unsur gharar, yaitu ketidak jelasan bagi kedua pihak  akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Efek dari ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan dhalim terhadap pihak lainnya.
Kalau orang bertanya, kenapa diharamkan sesuatu yang sama mau ditukarkan? Pada sisi yang yang juga dapat dipertanyakan kenapa mau ditukar kalau sesuatu itu sama? Kerelaan penukaran itu hanya karena ada sesuatu nilai (negatif) yang disembunyikan yang bisa menimbulkan kedhaliman karena ketidaktahuan satu sama lainnya.
Menurut Adi Warman Karim, dalam konteks perbankan riba fadl ini sering terjadi dalam transaksi jual beli valas yang tidak dilakukan secara tunai (spot).
2. Riba Nasi’ah
Riba nasi’ah sering disebut juga dengan riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat hutang piutang, dimana untung muncul bersama resiko (al-gunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj di dhaman). Transaksi seperti ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu (time of value money).
Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi al ghummu (untung) muncul tanpa adanya al ghurmi (resiko), hasil usaha (al kharaj) muncul tanpa adanya biaya yang dikeluarkan (dhaman); al-gummu dan al kharaj muncul hanya karena berjalannya waktu. Padahal pada setiap bisnis  selalu dihadapkan kepada dua pilihan, yaitu kemungkinan bisa untung dan rugi. Disinilah adanya perubahan dari sesuatu yang tidak jelas (uncertain) bisa untung atau rugi menjadi certain, pasti untung.
Memastikan keuntungan dari suatu usaha yang uncertainty, apa untung atau rugi adalah sesuatu yang bersifat spkelasi atau meraih keuntungan dengan menyebabkan kerugian pada orang lain.
Menurut Adi Warman Karim, dalam perbankan konvensional, riba nasi’ah sering muncul dalam pembayaran bunga diposito, tabungan, giro dll. Bank sebagai kreditur yang memberikan pinjaman mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya tetap dan ditentukan terlebih dahulu diawal transaksi. Padahal bisa jadi nasabah yang mendapatkan pinjaman tersebut belum tentu untung, tetapi ia diharuskan membayar bunganya kepada Bank, dan Bank tidak mau tahu apakah nasabah tersebut mau untung atau tidak. Disinilah adanya unsur saling mendhalimi dan tidak adilnya, unsur-unsur seperti ini tidak diperbolehkan dalam Islam.
Dalam mekanisme bunga yang dipraktekkan oleh Bank konvensional selalu terintegrasi dengan masalah waktu yang selanjutnya dikenal dengan teori time of value money, dimana uang yang diinvestasikan pada saat ini harus menghasilkan dan bertambah pada waktu yang akan datang dari waktu sebelumnya. Teori ini tentu tidak tepat karena dalam investasi dihadapkan pada probability risk dan return.
Adanya unsur-unsur seperti ketidakpastian menjadi sesuatu yang pasti pada setiap investasi, al gunmu bi alghurmi, al kharaj  bi al dhaman, dan saling mendhalimi menjadi penyebab diharamkan riba nasi’ah.
3. Riba Jahiliyyah
Riba jahiliyyah adalah hutang yang dibayar melebihi dari pokok karena sipeminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman dari waktu yang telah ditentukan. Dalam perbankan konvensional dapat dilihat dari penggunaan kartu kredit yang tidak dibayar penuh.
Dari ketiga jenis riba ini dapat teridentifikasi bahwa praktek bunga yang ada pada perbankan konvensional terdapat dalam bentuk jual beli valuta asing yang dilakukan tidak secara tunai, pembayaran bunga kredit, bunga tabungan, diposito, giro dan dalam tansaksi yang tidak dibayar penuh tagihannya.
B. BUNGA BANK
Bunga bank sering digunakan istilah interest adalah imbalan bagi mereka yang mau menyimpan uangnya di bank, atau sebagai biaya bagi mereka yang meminjam dari lembaga tersebut.
Teori-teori yang melandasi pengertian bunga tersebut adalah :
  1. Classical theory of interest yang menyatakan bahwa bunga adalah opportunity cost uang dipinjamkan atau biaya konpensasi suatu kesempatan untuk memperoleh penghasilan.
  2. Abstinence theory of interest yang menyatakan bahwa bunga adalah imbalan atas kesederhanaan hidup pemilik uang.
  3. The Productivity of interest yang menyatakan bahwa orang mau membayar bunga atas suatu pinjaman karena pinjaman merupakan tambahan modal yang akan menaikkan produktivitas usaha.
Teori-teori yang melandasi penentuan tingkat suku bunga, yaitu di antaranya :
  1. The Monetary theory of interest yang  menyatakan bunga adalah harga barang (uang) yang diperjualbelikan  sehingga harga dari uang ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran pasar.
  2. The Loanable theory yang menyatakan bahwa tingkat bunga ditentukan oleh tersedianya dana yang dapat dipinjamkan  dan kebutuhan masyarakat akan dana tersebut.
  3. The Liquidity preference yang menyatakan bahwa tingkat bunga ditentukan oleh struktur preference masyarakat terhadap rate of return dan tingkat resiko masing-masing bentuk investasi.
Pada sisi penyediaan dana, suatu tingkat suku bunga simpanan dapat dikatakan menarik jika tidak lebih rendah dari tingkat inflasi dan tidak lebih rendah dari tingkat bunga riil luar negeri. Sedangkan dari sisi penyaluran dana, tingkat bunga pinjaman dapat dikatakan menarik jika tidak lebih tinggi  dari rata-rata return on investment berbagai bentuk investasi. Namun demikian, paling tidak tingkat bunga pinjaman harus dapat menutup kewajiban membayar tingkat bunga simpanan dan biaya operasional bank.
Konsep bank syariah adalah menggantikan sistem bunga yang diartikan sama dengan riba – dengan sistem bebas bunga (prinsip bagi hasil dan jual beli). Namun kebenaran dan keberhasilan konsep bank syariah masih perlu dikaji dan diuji.
Berdasarkan teori-teori bunga yang dikemukakan di atas, dijelaskan bahwa perbandingan antara riba dan bunga bank adalah sebagai berikut :
  1. Riba biasanya terjadi pada kasus pinjam meminjam, bunga bank pada kasus pinjaman dan simpanan.
  2. Perhitungan tambahan riba disesuaikan dengan jangka waktu pengembalian pinjaman, perhitungan tambahan bunga bank  telah ditetapkan sebelumnya  berdasarkan kesepakatan awal.
  3. Jumlah pembayaran tambahan pada riba dan bank adalah sama, telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan kesepakatan awal.
  4. Pihak peminjam dalam riba dan bunga bank adalah sama, pasti mendapatkan keuntungan.
  5. Jumlah pembayaran tambahan riba berlipat ganda (100% atau lebih), jumlah pembayaran bunga bank  5% - 30% pertahun.
  6. Dalam riba terjadi unsur keterpakasaan, pemerasan dan penganiayaan, dalam bunga bank tidak ada keterpaksaan, pemerasan dan penganiayaan.