PERANAN AGAMA DALAM PEMBANGUNAN
PERANAN AGAMA DALAM PEMBANGUNAN
IPTEK NASIONAL 1
IPTEK NASIONAL 1
Oleh:
MUHAMMAD HARIS
MUHAMMAD HARIS
Pendahuluan
Peluncuran dan terbang perdana
pesawat N-250 yang diberi nama Gatotkaca pada tanggal 10 Agustus 1995 merupakan
tonggak penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Pesawat ini adalah
pesawat terbang pertama yang dibuat oleh putra-putri Indonesia, mulai dari
rancang bangun sampai ke perakitannya. Kebanggaan akan prestasi itulah
yang membuat pemerintah, melalui Keputusan Presiden RI no. 71 tahun 1995, menetapkan
tanggal 10 Agustus sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional. Keinginan
untuk berpartisipasi dalam pengembangan iptek nasional inilah, barangkali, yang
melatar-belakangi diselenggarakannya seminar oleh IAIN Sunan Ampel pada hari
ini.
Judul yang diberikan panitia kepada
saya, yang juga menjadi tema Seminar ini, memberi kesan bahwa, dalam hubungan
dua variabel ini (agama dan iptek nasional), iptek nasional menjadi fokus utama
dan agama sebagai penunjangnya. Mungkin di antara peserta Seminar ini ada
yang tidak setuju dengan penempatan posisi seperti itu dan menginginkan agar
agama ditempatkan pada posisi fokus dalam kaitannya dengan iptek.
Keinginan semacam itu adalah wajar dan sah, namun mengingat seminar ini
dikaitkan dengan peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional yang pertama,
maka wajarlah kalau pada seminar kali ini yang menjadi fokus perhatian adalah
masalah ipteknya. Mengapa iptek itu dikaitkan dengan agama?
Barangkali, hal itu karena yang menyelenggarakan seminar ini adalah IAIN, yang
bidang garapannya adalah agama.
Untuk membahas topik ini, saya
ingin mengajak peserta seminar ini untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagai
berikut:
1) Bagaimanakah posisi iptek dalam pembangunan nasional?
2) Apa dampak iptek dan globalisasi pada pembangunan bangsa?
3) Bagaimana sikap kita terhadap globalisasi itu?
4) Bagaimana peranan agama yang diharapkan dalam pembangunan iptek nasional?
5) Apakah harapan itu telah terwujud?
Posisi Iptek dalam Pembangunan Nasional
1) Bagaimanakah posisi iptek dalam pembangunan nasional?
2) Apa dampak iptek dan globalisasi pada pembangunan bangsa?
3) Bagaimana sikap kita terhadap globalisasi itu?
4) Bagaimana peranan agama yang diharapkan dalam pembangunan iptek nasional?
5) Apakah harapan itu telah terwujud?
Posisi Iptek dalam Pembangunan Nasional
Memasuki Pembangunan Jangka Panjang
ke II, bangsa Indonesia makin menyadari akan pentingnya peran iptek bagi
keberhasilan program pembangunan bangsanya. Hal ini tampak nyata dengan
dimasukkannya iptek sebagai salah satu asas pembangunan pada GBHN 1993-19982.
Sepuluh tahun sebelumnya, iptek belum dimasukkan sebagai asas pembangunan walau
bukan berarti tidak penting. Secara umum GBHN 1993-1998 itu juga mengakui
bahwa selama PJP I, "pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
berhasil memajukan tingkat kecerdasan masyarakat, mengembangkan kemampuan
bangsa serta ikut mendorong proses pembaharuan kehidupan masyarakat, bangsa,
dan negara. ..." (Bab III, A. 8.).
Iptek juga telah menjadi salah satu
bidang pembangunan dalam PJP II ini yang sasarannya adalah "tercapainya
kemampuan nasional dalam pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan bagi peningkatan kesejahteraan,
kemajuan peradaban, serta ketangguhan dan daya saing bangsa yang diperlukan
untuk memacu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan menuju
masyarakat yang berkualitas, maju, mandiri serta sejahtera ..." (Bab III,
E. 4.).
Dalam arah PJP II, juga disebutkan
bahwa
"pembangunan iptek memegang peranan penting serta akan sangat mempengaruhi
perkembangan dalam masa PJP II. Penguasaan iptek akan mempengaruhi
keberhasilan membangun masyarakat maju dan mandiri. Pembangunan iptek
diarahkan agar pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaannya dapat mempercepat
peningkatan kecerdasan dan kemampuan bangsa, mempercepat proses pembaharuan,
meningkatkan produktivitas dan efisiensi, memperluas lapangan kerja,
meningkatkan kualitas, harkat dan martabat bangsa, serta meningkatkan
kesejahteraan rakyat. ..." (Bab III, F. 15.).
Kutipan-kutipan dari GBHN di atas menunjukkan bagaimana posisi pembangunan iptek dalam kerangka Pembangunan Nasional Tahap II. Dapat disimpulkan bahwa pada PJP II, ini bangsa Indonesia makin menyadari betapa pentingnya iptek itu bagi pembangunan nasional. Bahkan dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan nasional akan dipengaruhi oleh penguasaan bangsa ini atas iptek itu. Kalau kita dapat menguasai iptek dengan baik, maka akan makin berhasillah pembangunan kita sedangkan kalau penguasaan iptek kita rendah, maka pembangunan nasional kita pun akan kurang berhasil.
Dalam kebijakan PELITA VI, dinyatakan
bahwa iptek diperlukan di hampir semua sektor pembangunan: industri, pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan, transportasi, dan bioteknologi (Bab IV, F.)
Dampak Iptek dan Globalisasi pada Pembangunan Bangsa
Dampak Iptek dan Globalisasi pada Pembangunan Bangsa
Seperti juga pada bidang lain,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai dampak positif dan
negatif. Penilaian positif maupun negatif ini, tentu saja, bersifat
subyektif, tergantung kepada siapa yang menilainya. Yang dinilai negatif
oleh bangsa Indonesia belum tentu juga dinilai negatif oleh bangsa Amerika,
misalnya.
Dampak positif kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat dirasakan, misalnya, dalam bidang teknologi
komunikasi dan informasi. Ditemukannya teknologi pesawat terbang telah
membuat manusia dapat pergi ke seluruh dunia dalam waktu singkat.
Perjalanan haji yang dulu dilakukan selama beberapa minggu melalui laut kini,
dengan makin lancarnya transportasi udara, dapat dilakukan hanya dalam waktu
delapan jam saja. Kemajuan di bidang televisi satelit telah memungkinkan
kita melihat Olimpiade Atlanta langsung tanpa harus keluar rumah.
Penemuan telepon genggam telah memungkinkan kita untuk menghubungi seseorang di
mana saja ia berada atau dari mana saja kita berada. Kemajuan di bidang
penyimpanan data telah memungkinkan kita memiliki seluruh jilid Ensiklopedia
Britanica dalam satu keping Compact Disk yang beratnya kurang dari satu
ons. Kemajuan di bidang komputer telah menciptakan jaringan internet yang
memungkinkan kita mendapatkan informasi dari perpustakaan di seluruh dunia
tanpa harus keluar dari kamar. Kemajuan di bidang komunikasi juga telah
membuat perdagangan internasional menjadi semakin mudah dan cepat. Sekarang
ini, lewat bursa saham, orang dapat dengan mudah memiliki perusahaan di negara
lain.
Singkat kata, kemajuan di bidang
teknologi komunikasi dan informasi ini telah membuat dunia terasa kecil dan
batas antar negara menjadi hilang. Inilah yang disebut sebagai
globalisasi, suatu proses di mana orang tidak lagi berfikir hanya sebagai warga
kampung, kota, atau negara, melainkan juga sebagai warga dunia.
Dari sisi positifnya, proses ini
membuat orang tidak lagi hanya berwawasan lokal. Dalam usahanya
memecahkan persoalan, ia akan melihat ke seluruh dunia guna menemukan
solusi. Dalam mencari pekerjaan atau ilmu pun, ia tidak lagi membatasi
diri pada pekerjaan atau lembaga pendidikan di kampungnya, kotanya,
propinsinya, atau negaranya saja. Seluruh permukaan bumi ini dapat menjadi
kemungkinan tempat ia bekerja atau mencari ilmu.
Dari sudut jati diri bangsa, proses
ini dapat dianggap membawa dampak negatif. Hal ini karena inovasi-inovasi
di bidang iptek itu kebanyakan terjadi di negara lain yang mempunyai
nilai-nilai sosial, politik, dan budaya yang belum tentu sama dengan nilai
bangsa kita. Kendati teknologinya itu sendiri dapat dianggap sebagai
netral atau bebas nilai, penerapan dan pembawa ilmu pengetahuan dan teknologi
itu tidak dapat dikatakan selalu bebas nilai. Sebagai contoh, kemajuan
teknologi parabola telah memungkinkan kita melihat siaran televisi Perancis
tanpa ada sensor. Adegan seks dan pamer dada wanita, yang di RCTI tidak
mungkin keluar, dapat dilihat anak-anak kita tanpa terpotong gunting sensor lewat
parabola itu. Banjirnya film asing di TV nasional (yang terpaksa diputar
karena produksi nasional belum ada dan harganya lebih murah daripada
memproduksi sendiri) juga dapat mempengaruhi nilai budaya para
pemirsanya. Telenovela dan film Barat yang amat populer di TV swasta
kita, secara tidak terasa, dapat mempengaruhi para pemirsanya bahwa
perselingkuhan dalam kehidupan suami istri itu adalah hal yang biasa, bahwa
kekerasan merupakan salah satu pemecahan masalah. Film detektif bahkan
dapat menjadi 'guru' bagi para maling.
Globalisasi cara berfikir, yang
menjadi salah satu dampak kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, dapat
membuat orang tidak lagi mengacu pada nilai-nilai tradisional bangsanya
belaka. Kemudahan memperoleh informasi akan membuat ia dapat mempelajari
nilai-nilai yang ada pada masyarakat dan bangsa lain, baik yang menyangkut
nilai sosial, ekonomi, budaya, maupun politik. Sebagai bangsa yang sedang
membangun jati-dirinya, proses globalisasi ini jelas merupakan tantangan yang harus
diatasi dalam upaya pembentukan manusia Indonesia yang dicita-citakan.
Hal ini tampaknya juga disadari
oleh para wakil rakyat yang menyusun GBHN 1993-1998. Mengenai dampak
negatif globalisasi bagi pembangunan nasional kita, GBHN menyatakan:
"Perkembangan, perubahan, dan gejolak internasional pada akhir
Pembangunan Jangka Panjang Pertama ditandai oleh gejala baru, yaitu globalisasi
yang dapat mempengaruhi stabilitas nasional dan ketahanan nasional yang pada
gilirannya akan berdampak pada pelaksanaan pembangunan nasional di masa yang
akan datang. ... Tantangan di bidang ekonomi ... adalah munculnya pengelompokan
antar-negara yang cenderung meningkatkan proteksionisme dan diskriminasi pasar
yang dapat menghambat pemasaran hasil produksi dalam negeri dan mendorong
persaingan yang tidak sehat. Ancaman di bidang politik dan pertahanan
keamanan adalah kemungkinan timbulnya rongrongan terhadap ideologi Pancasila,
Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional, khususnya persatuan dan kesatuan
bangsa yang dapat mengganggu kelancaran jalannya pembangunan nasional.
Ancaman di bidang sosial budaya adalah masuknya nilai-nilai yang bertentangan
dengan nilai-nilai lujur budaya bangsa." (Bab IV, A. 2.)
Sikap terhadap Globalisasi
Pada dasarnya sikap orang terhadap
masalah globalisasi ini dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) lari dari
kenyataan dan bersembunyi atau menutup diri dari arus globalisasi itu; (2)
menghindar atau menganggap bahwa globalisasi itu tidak ada; (3) menghadapi
persoalan dengan berani. Pilihan pertama dilakukan apabila orang tersebut
merasa lemah dan tidak kuat untuk menanggulangi dampak negatif globalisasi
itu. Dalam mempertimbangkan dampak positif dan negatif kemajuan iptek dan
globalisasi, ia melihat bahwa 'mudharat' globalisasi tersebut lebih besar
daripada 'manfaatnya'. Akibatnya, ia menolak kehadiran kemajuan iptek
tersebut dan tidak mau bersentuhan dengannya. Dalam kasus bangsa,
pemerintah menutup masuknya informasi dari luar tanpa pandang bulu karena takut
kalau-kalau rakyatnya akan terpengaruh oleh nilai-nilai dari luar yang mungkin
akan berdampak negatif.
Pilihan ke dua dilakukan bila orang
tersebut merasa bingung. Di satu fihak, ia mengetahui dampak positifnya
kemajuan teknologi komunikasi itu tetapi, di lain fihak, ia juga mengetahui
dampak negatif dari globalisasi tersebut. Ia tidak dapat memutuskan
apakah akan merangkul ataukah menolak kemajuan teknologi yang berdampak
globalisasi itu. Akibatnya, ia membiarkan saja kemajuan teknologi itu
melanda bangsanya dan berpura-pura yakin, atau berharap, bahwa globalisasi itu
tidak membawa dampak negatif bagi masyarakatnya.
Pilihan ke tiga dilakukan oleh
orang yang tidak bingung. Ia menyadari akan dampak positif dan negatif
dari kemajuan iptek yang masuk ke negaranya, termasuk dampak globalisasi
masyarakatnya. Berbeda dengan pemilih skenario ke dua, ia dengan seksama
memilah-milah mana dampak positif dari kemajuan iptek dan globalisasi itu bagi
dirinya dan mana dampak negatifnya. Dengan mengetahui di bidang mana
kemajuan iptek dan globalisasi itu akan membawa dampak negatif, ia
mempersiapkan diri agar tidak terpengaruh oleh kemajuan iptek dan globalisasi
itu secara negatif.
Secara teoritis, kita dengan mudah
akan melihat bahwa pilihan ke tiga itulah yang terbaik tetapi, secara praktis,
kadang-kadang kita akan lebih memilih alternatif ke dua atau pertama.
Barangkali dilemma seperti inilah yang dihadapi oleh para ulama Madura dalam
masalah industrialisasi pulau Madura. Di masa lalu, dilemma ini mungkin
juga dihadapi oleh para ulama dalam masalah pendidikan umum yang diperkenalkan
Belanda.
Tampaknya, dalam masalah kemajuan
iptek dan globalisasi ini bangsa Indonesia bertekad untuk memilih alternatif ke
tiga: kemajuan iptek dirangkul sedang dampak ikutannya yang negatif akan
dihadapi dengan meningkatkan ketahanan nasional di bidang ipoleksosbud.
Hal ini tampak dalam pernyataan mereka dalam GBHN 1993-1998:
"Pembinaan dan pemantapan kepribadian bangsa senantiasa
memperhatikan pelestarian nilai luhur budaya bangsa yang bersumber pada
kebhinekaan budaya daerah dengan tidak menutup diri terhadap masuknya nilai
positif budaya bangsa lain untuk mewujudkan dan mengembangkan kemampuan dan
jati diri serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
penyelenggaraan pembangunan harus meningkatkan kecerdasan dan nilai tambah ...
dengan mengindahkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa serta
kondisi lingkungan dan kondisi masyarakat." (Bab II, G. 3.)
Menurut pernyataan itu, bangsa Indonesia tidak perlu menutup diri terhadap masuknya nilai-nilai positif budaya bangsa lain guna mengembangkan jati dirinya. Nilai-nilai agama, budaya bangsa, kondisi lingkungan dan masyarakat Indonesia dipakai sebagai pagar atau rambu-rambu bagi penerapan iptek di Indonesia hingga tak berdampak negatif pada masyarakat dan bangsa.
Peranan Agama dalam Pengembangan Iptek Nasional
Dalam membahas peranan agama dalam
pengembangan iptek nasional ini, saya tidak akan berbicara secara teoritik
umum. Mengingat iptek yang kita bicarakan adalah iptek dalam konteks
nasional, maka peranan yang dimainkan oleh agama dalam hal ini pun berada dalam
konteks nasional pula. Dengan demikian, pertanyaan yang ingin saya jawab
dalam bagian ini adalah: Bagaimanakah peran yang diharapkan oleh bangsa
Indonesia dari agama dalam kaitannya dengan pengembangan iptek nasional?
Ada beberapa kemungkinan hubungan
antara agama dan iptek: (a) berseberangan atau bertentangan, (b) bertentangan
tapi dapat hidup berdampingan secara damai, (c) tidak bertentangan satu sama
lain, (d) saling mendukung satu sama lain, agama mendasari pengembangan iptek
atau iptek mendasari penghayatan agama.
Pola hubungan pertama adalah pola
hubungan yang negatif, saling tolak. Apa yang dianggap benar oleh agama
dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula
sebaliknya. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek akan
menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama dan pendalaman agama dapat
menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu pengetahuan. Orang
yang ingin menekuni ajaran agama akan cenderung untuk menjauhi ilmu pengetahuan
dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia. Pola hubungan pertama ini
pernah terjadi di zaman Galileio-Galilei. Ketika Galileo berpendapat
bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa matahari lah
yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan dikalahkan. Ia
dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat.
Pola hubungan ke dua adalah
perkembangan dari pola hubungan pertama. Ketika kebenaran iptek yang
bertentangan dengan kebenaran agama makin tidak dapat disangkal sementara
keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan satu-satunya adalah
menerima kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa masing-masing mempunyai
wilayah kebenaran yang berbeda. Kebenaran agama dipisahkan sama sekali dari
kebenaran ilmu pengetahuan. Konflik antara agama dan ilmu, apabila
terjadi, akan diselesaikan dengan menganggapnya berada pada wilayah yang
berbeda. Dalam pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek tidak dikaitkan
dengan penghayatan dan pengamalan agama seseorang karena keduanya berada pada
wilayah yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal, pengembangan yang
satu tidak mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan seperti ini dapat
terjadi dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk memisahkan urusan
agama dari urusan negara/masyarakat.
Pola ke tiga adalah pola hubungan netral.
Dalam pola hubungan ini, kebenaran ajaran agama tidak bertentangan dengan
kebenaran ilmu pengetahuan tetapi juga tidak saling mempengaruhi. Kendati
ajaran agama tidak bertentangan dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan
dengan iptek sama sekali. Dalam masyarakat di mana pola hubungan seperti
ini terjadi, penghayatan agama tidak mendorong orang untuk mengembangkan iptek
dan pengembangan iptek tidak mendorong orang untuk mendalami dan menghayati
ajaran agama. Keadaan seperti ini dapat terjadi dalam masyarakat sekuler.
Karena masyarakatnya sudah terbiasa dengan pemisahan agama dan
negara/masyarakat, maka. ketika agama bersinggungan dengan ilmu, persinggungan
itu tidak banyak mempunyai dampak karena tampak terasa aneh kalau
dikaitkan. Mungkin secara individu dampak itu ada, tetapi secara komunal
pola hubungan ini cenderung untuk tidak menimbulkan dampak apa-apa.
Pola hubungan yang ke empat adalah
pola hubungan yang positif. Terjadinya pola hubungan seperti ini
mensyaratkan tidak adanya pertentangan antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan
serta kehidupan masyarakat yang tidak sekuler. Secara teori, pola
hubungan ini dapat terjadi dalam tiga wujud: ajaran agama mendukung
pengembangan iptek tapi pengembangan iptek tidak mendukung ajaran agama, pengembangan
iptek mendukung ajaran agama tapi ajaran agama tidak mendukung
pengembangan iptek, dan ajaran agama mendukung pengembangan iptek dan demikian
pula sebaliknya.
Dalam wujud pertama, pendalaman dan
penghayatan ajaran agama akan mendukung pengembangan iptek walau pengembangan
iptek tidak akan mendorong orang untuk mendalami ajaran agama.
Sebaliknya, dalam wujud ke dua, pengembangan iptek akan mendorong orang untuk
mendalami dan menghayati ajaran agama walaupun tidak sebaliknya terjadi.
Pada wujud ke tiga, pengembangan iptek akan mendorong orang untuk lebih
mendalami dan menghayati ajaran agama dan pendalaman serta penghayatan ajaran
agama akan mendorong orang untuk mengembangkan iptek.
Pertanyaan selanjutnya adalah
"pola hubungan yang manakah yang dikehendaki oleh bangsa Indonesia terjadi
di negara kita ini?" Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka kita
perlu melihat kembali GBHN sebagai cermin keinginan bangsa Indonesia tentang
apa yang mereka harapkan terjadi di Indonesia dalam masa 5 atau 25 tahun
mendatang.
Kalau kita simak pernyataan
eksplisit GBHN 1993-1998 tentang kaitan pengembangan iptek dan agama, akan kita
lihat bahwa pola hubungan yang diharapkan adalah pola hubungan ke tiga, pola
hubungan netral. Ajaran agama dan iptek tidak bertentangan satu sama lain
tetapi tidak saling mempengaruhi. Pada Bab II, G. 3. GBHN 1993-1998, yang telah
dikutip di muka, dinyatakan bahwa pengembangan iptek hendaknya mengindahkan
nilai-nilai agama dan budaya bangsa. Artinya, pengembangan iptek tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa. Tidak
boleh bertentangan tidak berarti harus mendukung. Kesan hubungan netral
antara agama dan iptek ini juga muncul kalau kita membaca GBHN dalam bidang
pembangunan Agama dan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tak ada
satu kalimat pun dalam pernyataan itu yang secara eksplisit menjelaskan
bagaimana kaitan agama dengan iptek. Pengembangan agama tidak ada
hubungannya dengan pengembangan iptek.
Akan tetapi, kalau kita baca GBHN
itu secara implisit dalam kaitan antara pembangunan bidang agama dan bidang
iptek, maka kita akan memperoleh kesan yang berbeda. Salah satu asas
pembangunan nasional adalah Asas Keimanan dan Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa yang berarti
"... bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai,
digerakkan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral,dan etik
dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila" (Bab II,
C. 1.)
Di bagian lain dinyatakan bahwa pembangunan bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa diarahkan, antara lain, untuk memperkuat landasan spiritual, moral, dan etik bagi pembangunan nasional.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa,
secara implisit, bangsa Indonesia menghendaki agar agama dapat berperan sebagai
jiwa, penggerak, dan pengendali ataupun sebagai landasan spiritual, moral, dan
etik bagi pembangunan nasional, termasuk pembangunan bidang iptek tentunya.
Dalam kaitannya dengan pengembangan iptek nasional, agama diharapkan dapat
menjiwai, menggerakkan, dan mengendalikan pengembangan iptek nasional tersebut.
Hubungan Agama dan Pengembangan Iptek Dewasa Ini
Hubungan Agama dan Pengembangan Iptek Dewasa Ini
Pertanyaan berikutnya adalah
"apakah peranan agama terhadap pengembangan iptek seperti yang diharapkan
itu telah terjadi?" Dari pengamatan selama ini, saya rasa peranan
seperti itu belum terjadi. Pola hubungan antara agama dan iptek di
Indonesia saat ini baru pada taraf tidak saling mengganggu. Pengembangan
iptek dan pengembangan kehidupan beragama diusahakan agar tidak saling tabrak
pagar masing-masing. Pengembangan agama diharapkan tidak menghambat
pengembangan iptek sedang pengembangan iptek diharapkan tidak mengganggu pengembangan
kehidupan beragama. Konflik yang timbul antara keduanya diselesaikan
dengan kebijaksanaan.
Sebagai contoh, beberapa waktu yang
lalu ada polemik di surat kabar tentang tayangan televisi swasta yang dianggap
tidak sesuai dengan nilai-nilai agama (misalnya, penonjolan aurat wanita,
cerita perselingkuhan, dsb.). Fihak yang berkeberatan mengatakan bahwa
hal itu dapat merusak mental masyarakat. Tetapi, fihak yang tidak
berkeberaan dengan acara seperti itu mengatakan bahwa 'kalau anda tidak senang
dengan acara itu, matikan saja televisinya.' Perusahaan televisi
swasta adalah perusahaan yang harus memikirkan keuntungan dan ia akan berusaha
menayangkan film yang digemari masyarakat. Kalau masyarakatnya senang
film sex dan sadis, maka film itu pulalah yang akan memperoleh rating tinggi
dan diminati oleh pemasang iklan. Ini adalah pemikiran yang sekuler, yang
memisahkan urusan dagang dari agama. Tugas pengusaha adalah mencari
untung sebanyak-banyaknya, sedang mendidik kehidupan beragama masyarakat adalah
tugas guru agama dan ulama. Kasarnya, tugas setan memang menggoda manusia
sedang mengingatkan manusia adalah tugas nabi.
Polemik ini diselesaikan dengan
penerapan sensor intern dari perusahaan televisi swasta. Kini adegan
ciuman bibir antara lelaki perempuan, yang biasa kita lihat di bioskop, tidak
akan kita temukan di televisi. Film "Basic Instinct" yang
ditayangkan di televisi beberapa waktu yang lalu telah dipotong sedemikian rupa
sehingga steril dari adegan sex yang panas.
Ada pula konflik antara ajaran
agama dan ajaran ilmu pengetahuan yang diselesaikan dengan cara menganggapnya
"tidak ada atau sudah selesai" padahal ada dan belum
diselesaikan. Sebagai contoh adalah teori tentang asal usul manusia yang
diajarkan di sekolah. Guru biologi mengajarkan bahwa menurut sejarahnya,
manusia itu berasa dari suatu jenis tertentu yang kemudian pecah menjadi dua
cabang: yang satu mengikuti garis pongid yang akhirnya menjadi kera modern,
yang lain mengikuti garis manusia yang berkembang mulai dari manusia kera purba
sampai ke manusia modern. Guru agama Islam mengajarkan bahwa, berdasarkan
dalil-dalil naqli, manusia itu diciptakan oleh Allah s.w.t. dalam bentuknya
seperti sekarang. (Lihat buku teks Biologi SMU untuk kelas tiga dan bandingkan
dengan buku teks Pendidikan Agama Islam di SMU).
Ini adalah pertentangan teori yang
klasik, antara teori evolusi dan teori ciptaan, yang pernah melanda Amerika
Serikat beberapa tahun yang lalu. Di dunia ilmu pengetahuan, konflik itu
tetap berlangsung sampai sekarang walaupun kelompok pendukung teori ciptaan ini
jumlahnya makin sedikit jika dibandingkan dengan mereka yang mempercayai teori
evolusi. Di bidang ilmu, konflik antara teori yang satu dengan yang lain
adalah wajar dan merupakan rahmat (Konflik semacam inilah yang menimbulkan
paradigma baru dalam ilmu pengetahuan dan menghasilkan teori-teori baru.
Akan tetapi, jika konflik semacam ini diajarkan di sekolah tanpa diselesaikan,
maka kebingungan lah yang akan menjadi akibatnya. Di Amerika, konflik ini
diselesaikan dengan melarang diajarkannya teori ciptaan di seluruh sekolah
negeri.
Di Indonesia, konflik di sekolah
ini tidak diselesaikan dan dianggap tidak ada. Pelajaran Biologi hanya
mengajarkan teori evolusi dalam bidang biologi dan pura-pura tidak tahu bahwa
ajaran agama Islam, Kristen, dan Katolik menganut faham creationism (manusia
diciptakan). Sebaliknya, Pendidikan Agama Islam mengajarkan teori ciptaan
dan menyalahkan teori evolusi tanpa menjelaskan dimana letak kesalahan teori
evolusi itu (padahal, sampai saat ini, teori evolusi ini masih menjadi tulang
punggung ilmu hayat (biologi). Secara teoritis, keadaan seperti ini akan
menghasilkan lulusan SMA yang bingung di bidang asal usul manusia (barangkali
gurunya pun bingung!).
Penutup
Penutup
Sebagai penutup dapat kitas
simpulkan bahwa dewasa ini iptek menempati posisi yang amat penting dalam
pembangunan nasional jangka panjang ke dua di Indonesia ini. Penguasaan
iptek bahkan dikaitkan dengan keberhasilan pembangunan nasional. Namun,
bangsa Indonesia juga menyadari bahwa pengembangan iptek, di samping membawa
dampak positif, juga dapat membawa dampak negatif bagi nilai agama dan budaya
yang sudah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sebagai bangsa yang telah
memilih untuk tidak menganut faham sekuler, agama mempunyai kedudukan yang
penting juga dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itulah diharapkan
agar pengembangan iptek di Indonesia tidak akan bertabrakan dengan nilai-nilai
agama dan budaya luhur bangsa.
Kendati pola hubungan yang
diharapkan terjadi antara agama dan iptek secara eksplisit adalal pola hubungan
netral yang saling tidak mengganggu, secara implisit diharapkan bahwa
pengembangan iptek itu dijiwai, digerakkan, dan dikendalikan oleh nilai-nilai
agama. Ini merupakan tugas yang tidak mudah karena, untuk itu, kita harus
menguasai prinsip dan pola pikir keduanya (iptek dan agama). Saat ini
baru sebagian kecil saja ummat yang menguasai hal itu dan yang sedikit itu
masih belum sempat menulis buku teks yang memadukan kedua hal (agama dan iptek)
itu. Dari uraian di atas, ternyata kita baru pada langkah awal dan masih
jauh jalan yang harus kita tempuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar